Jumat, 26 September 2008

diujung kematian

akhirnya
beribu detik nafas menggelora
menginginkan dunia
kita ternyata hanya mati juga
tak mampu menahan usia
lalu ia berkata lirih pada tuhan-Nya
; aku belum berbuat apa-apa sebagai khalifahmu di bawah arsy-Mu
diujung waktuku jika Engkau ridho
peluklah aku dengan ridho-Mu dan rahmat-Mu

Selasa, 16 September 2008

di arsy-Mu kubersujud

aku ingin menyapa-Mu
dalam ragawi dan sukmaku
dimanakah diri ini
saat inabah tak lagi kurindukan
dimana tempatku kembali
dalam meletakan cinta
adakah sisi-Mu yang lapang untuk jasad ini
sebelum rohku bersua dengan-mu di Arsy-Mu

ramadhan cinta;nuzulur qur'an

nama-Mu kuangungkan
hingga berdarah-darah
tapi cinta-Mu segalanya
hari ini al-quran engkau turunkan
hingga sang nabi menggigil ketakutan
merasa asing "dengan kebesaranmu"
ya allah ampunilah cinta-cintaku yang tak meletakannya
pada hakikat cinta-Mu

Minggu, 07 September 2008

biar aku mendekat

masa lalu begitu singkat
saat kembali engkau menyapa bersama angin malam
aku terasa sesak
pekat oleh segala ingatanku atas dirimu
engkaukah itu; seorang hamba-Nya yang sedang mencari cinta

menepuk angin

sebuah puisi singkat
dari patahan hati
seperti angin yang mampu dirasakan
namun tak mampu dipeluk ragawinya
inilah keharusan cinta manusia
yang terkadang tak mampu diraih

menepuk angin

Menepuk Angin …

Aku tahu. Pada akhirnya aku tidak cukup kuat meninggalkannya. Meski aku harus menjalaninya. Sebuah perpisahan yang harus kurancang dengan baik. Dengan sangar rapi. Seperti sebuah cerita-cerita dalam cerita pendek. Atau layaknya cerita-cerita dalam novel-novel melankolis tentang percintaan. Hanya jika setiap yang kukenal bertanya;apakah aku masih mencintainya. Terlebih jika allah mempertemukan kembali. Dengan kesadaran penuh kukatakan; aku sangat mencintainya diwaktu itu. Sebuah rasa yang tak pernah terbayangkan. Rasa yang harus dipendam. Dan kini...

ketika kutemui dalam momentum yang begitu saja. Tanpa dirancang. Seolah seperti sebuah kecintaan akan mahluk Allah bernama perempuan itu membuat hatiku bergetar hebat. Dada terasa berdetak cepat. Psikologiku yang tiba-tiba kembali kemasa lalu membuat kakiku rapuh. Serapuh jaring laba-laba rasa yang kubuat dalam hatiku. Kini ia berjilbab. Jilbab yang kuimpikan saat aku mengenalnya. Yang kuprediksikan dalam sebuah cerita pendekku tentangnya, disuatu waktu tempo dulu. Satu tahun sebelum kelulusanku. Ia pun membaca cerita pendekku. Sesaat setelah membaca ceritaku, ia hanya tersenyum.sembari mengatakan “Aku berjilbab?” sebuah senyuman yang kumengerti. Bahwa ia belum siap membalut kecantikan hatinya dengan jilbabnya. Aku paham. Kesadaran spiritual tidak harus dipaksakan.

Dan dalam momentum pertemuan kilat yang tak pernah kurencanakan. Sekilas aku masih menatapnya. Kulihat letak tahi lalatnya yang masih sama. Dahulu ia bercerita bahwa berkali-kali ia akan menghilangkan beberapa titik hitam diwajah manisnya. Ia pikir mungkin mengganggu kecantikannya. Tapi bagiku ia terasa lebih manis dengan semua titik hitam dari tuhan untuknya.

Dahulu, aku mengenalnya seperti semua laki-laki yang mengenal perempuan. Cerita klise berlanjut. Pertemuan demi pertemuan adalah ketulusan yang sulit kumengerti. Saling mengingatkan tentang Allah. Berdiskusi tentang kedewasaan. Bereksplorasi tentang kemanusiaan. Toh pada akhirnya aku sendiri yang melabrak semua itu. Hanya ia tidak tahu. Dalam ketidak mengertianku tentang sikapku. Nuraniku berbisik pada pemilik hati. Pada dzat yang membolak-balikan hati; Allah, sesungguhnya. hanya engkau yang mengetahui tentang kedalaman hatiku

Pada banyak hal, aku bukan laki-laki sempurna. Tapi terlalu banyak perempuan yang menyukaiku. Sekalipun aku tak sempurna. Seperti banyaknya laki-laki yang menyukainya. Sekalipun aku tahu ia pun bukan perempuan yang sempurna. Toh bukankah dalam ketidaksempurnaan manusia terletak banyak keindahan yang diberikan-Nya. Namun aku tahu kedalaman hatinya begitu tulus untukku, tentunya waktu itu. Aku tahu itu. Karena aku yakin dengan itu. Dan aku pun menyadari bahwa ia bukan perempuan yang sempurna. Dalam ketidaksempurnaannya sesungguhnya aku menyayanginya. Rasa sayang yang sulit kukatakan dengan kata-kata. Rasa sayang yang saat ia kutinggalkan dengan serta merta, ia benar-benar tak mempedulikanku menjadi semacam rindu dalam ribuan halaman buku-buku catatan harianku.

Ceritaku akan dirinya adalah prosa tentang rasa sayang yang sulit kumengerti. Seperti sebuah cerita yang akan banyak ditemukan dalam ribuan cerita cinta. Jika aku sedang setengah sadar, ia seperti layla yang membuat qais menjadi setengah sadar dan gila. Jika semua orang bertanya kepadaku. Aku selalu menjawab bahwa ia adalah perempuan luar biasa bagiku. Sebagian mengatakan aku terjebak pada banalitas cinta. Namun siapakah yang mampu menahan rasa jika ia hadir dan menjelma menjadi nyanyian rindu dalam relung kalbu.

Kilasan rasaku adalah cerita delapan tahun yang lalu. Aku mengenalnya.satu tahun tahun dari tujuh tahun sesudahnya. Aku hanya mengingatnya. Mendengar aktifitasnya. Bertanya tentang keadaannya. Apakah ia masih dengan tunangannya. Apakah ia sudah putus dengan tunangannya. Apakah ia masih dengan pacar baru yang kudengar ia telah berpacaran lagi. Beberapa nama kudengar pernah bersamanya. Disaat itu pula kudengar, berkali-kali ia bertanya pada angin, apakah aku sudah berpacaran. Bertanya ia kepada angin, apakah aku masih bertanya tentangnya. Bertanya pula ia pada angin, apakah aku sehat, bertanya pula ia pada angina, apakah aku sudah menyelesaikan materi-materi kuliahku yang terbengkalai. Bertanya lagi ia pada angina, Apakah aku masih beraktivis ria.

Apalagi aku bukan orang yang senantiasa tepat waktu. Seperti berkali-kali aku selalu terlambat jika menemuinya dalam waktu yang telah ditentukannya. Ia sibuk dengan kuliahnya mempelajari anatomi manusia. Aku sibuk dengan kehidupan aktivisku. Banyak hal, aku diingatkannya tentang sesuatu. Tentang kesehatan. Tentang makanan. Tentang olahraga. Tentang kemanusiaan. Tentang agama dan tentang Allah. Ia selalu datang dengan banyak hal yang lugas dalam sikapnya. Sebuah sikap perpaduan antara kemanjaan dan kedewasaan yang belum pernah kutemukan lagi dalam perempuan lain. Sebegitunya kah aku. Entahlah. Bukankah sebuah pengalaman rasa setiap orang mampu menuliskan dengan cara yang berbeda.

Dalam banyak hal kehidupan adalah prosa yang sulit dimengerti. Prosa tentang sebab akibat ketidakdewasaan sikap. Juga ketepatan momentum waktu. Lalu dalam balutan jilbab putih, kemeja putih, kemarin sore tiba-tiba aku berpapasan dengannya. Hanya aku tidak tahu apakah ia melihatku. Namun aku sungguh-sungguh melihatnya. Ada keinginan untuk menyapa. Namun dalam ketergesaannya, sekali lagi kubiarkan ia melenggang.Aku mematung menatapnya dari lima belas meter dari wajahnya dalam keramaian suasana.

Mungkin aku bukan laki-laki yang pantas dikenalnya lagi. Bukan laki-laki yang ingin ditemuinya kembali. Bukan laki-laki yang ingin didengar sapannya. Tepatnya bukan laki-laki yang dahulu senantiasa ditunggu suaranya. Aku terkesima. Tak ada kata-kata. Seperti kata-kata yang mencapai ribuan kalimat dalam buku catatan yang kuharap mampu dibacanya. Namun ketika perpisahanku dengan kota tempatku mendewasakan diri secara akademis. Aku sungguh-sungguh tidak tahu apakah catatan harianku tentangnya selama satu tahun dengannya, dan empat tahun bersamanya benar-benar sampai kepadanya atau tidak hingga tuntas dibacanya atau tidak. Buku catatan harianku yang kutitipkan pada seorang sahabatnya. Sengaja kuberikan sebagai ungkapan maaf atas segala kesalahan sikap. Hingga aku delapan tahun kemudian berpapasan dengannya. Dan itu sore kemarin…

Cerita kepergianku adalah kepergian setengah hati. Tapi aku mencoba memahami semuanya.Tepatnya mencoba ikhlas. Agamaku melarang mengambil perempuan yang sudah setengah dimiliki seseorang, meski hanya dengan tanda sebuah cincin. Apalagi cincin hanya mengikat psikologi keluarga besar saja. Bukan mengikat sepenuh hatinya. Candaannya. Kekanak-kanakkannya. Kelembutannya, kekerasan sikapnya, semua yang kuingat tentangnya juga ketidaksempurnaannya adalah hal yang mampu kuterima. Sebuah hal yang sulit kuterima ketika mulai mengenal perempuan lain.

Entah kenapa. Berkali-kali kutanyakan pada Allah tentang rindu lebab ini. Pertanyaan yang bertahun-tahun kucari jawabannya, baru kutemukan ketika rasa telah lelah. Ketika raga hampir lepas dari tubuh. Bahwa hanya Allah yang berhak menunjukki siapa yang Ia kehendaki. Terlepas siapapun yang kita cintai. Keinginan cinta kita adakalanya tidak selaras dengan pilihan terbaik Allah. Adakalanya kita merasa pilihan Allah tidak adil dengan rasa yang sedang menjelma sedemikian rupa. Semoga aku pernah mencintainya karena-Nya. Meninggalkannya karena-Nya. Mencoba kembali karena Allah pula. Namun, hatiku luluh karena firman-Nya; “apa saja yang ada disisimu akan lenyap. Dan apa saja yang ada disisi allah adalah kekal.” (QS. An-Nahl:96) lantas, aku menguatkan diri untuk memahami segala kondisi serta momentum kerajaan cinta dalam hati yang berserak. Bukankah hanya karena kecintaan kepada Allahlah yang menyatukan banyak cinta.

Lalu aku mencoba merubah perasaannya. Bagiku itu lebih baik namun entah untuknya. Cukup aku saja yang terlanjur sayang. Tidak ada yang mampu mendefinisikan rasa ketika rindu menjebol kalbu. Ketika kudengar ia telah bercincin. Cincin yang tak pernah dipakainya saat menemuiku. Cincin yang ia pakai saat mengungkapkan rasa sayangnya padaku. Cincin itulah perlahan-lahan membuatku mencoba menjaga jarak.

Bukankah persahabatan tulus yang berakhir kecintaan akan lebih menyakitkan jika tidak ingin diperjuangkan. Bagaimana jika pernikahan perempuan yang sangat aku sayangi itu datang disaat bersamaan cintaku dan cintanya menjadi tumbuh. Tapi ia harus menikahi seseorang karena cincin telah dijari manisnya. Untuk apa saling menatap mata, saling menyentuh hati, jika hal itu hanya untuk menyakitinya dimasa yang akan datang. Sebuah kesadaran itu yang datang. Yang sama sekali tidak kukatakan padanya. Pada perempuan yang teramat sangat aku sayangi waktu itu.

Lalu, kubiarkan aku perlahan pergi. Atau tepatnya menyibukan diri. Mungkin pula semacam berbohong pada hati kecil yang sejujurnya sangat masih membutuhkannya. Sebuah keputusan yang entah aku rasa tepat atau tidak. Sebab aku perlahan kembali ketika ia ada diujung kehampaan. Tapi aku siapa. Saat rasa sakit telah menjelma dalam dadanya. Aku bukan orang yang pintar membolak-balikan kembali hati yang telah pecah oleh sakit hati yang kubuat sendiri.

Hanya, semakin jauh, semakin menghindar, semakin ia begitu dekat. Dikota kelahirannya, aku tiba-tiba dipertemukan dengan orang-orang yang pernah cukup dekat dengannya. Disuatu tempat yang aku merasa mungkin bisa membuatku merasa bisa sedikit banyak memulai kehidupan pasca kelulusanku dan menetap disebuah kota, tanpa mengenangnya. Ia datang lewat cerita-cerita yang dibawa oleh teman masa kanak-kanaknya. Teman semasa ia di sekolah menengah. Sahabatnya yang kini jadi sahabatku disebuah kota, kukenal begitu saja. Tanpa ia tahu bahwa yang ia ceritakan adalah perempuan yang pernah kukenal.

Sehingga aku merasa, aku harus keluar dari semua kerkahan cerita tentangnya. Mencoba bertahan dalam kerapuhan ingatan. Entah ia tahu atau tidak dalam kehidupan barunya bersama laki-laki yang mungkin sudah ia cintai. Aku masih mengenangnya. Berdo’a atas segala yang pernah tercipta. Terlebih kedewasaanku terbentuk dari ketidak dewasaan saat bersamanya.

Aku sendiri terasing dalam ilusi cinta yang menjadi labirin rasa. Sahabatnya yang menjadi temanku tanpa ia tahu bahwa aku pernah sebegitu dekat dengannya, bercerita tentangnya. Keluarganya. Persoalan dirinya, cerita-cerita tentangnya datang dan pergi dari orang-orang yang dekat dengannya dan tak sengaja pernah kutemui. Dan menceritakan kepadaku tentang dirinya. Tentang kuliah anatominya yang membuatnya galau. Tentang cerita seorang laki-laki dari babad tanah sunda yang pernah ia kenal. Kemanapun aku pergi dan menjauh untuk memberikan kesempatan kepada perasaanku, juga kepadanya, cerita-cerita tentangnya selalu datang kembali dengan caranya sendiri. Meski telah menjadi masa lalu senantiasa membayangi masa depan yang sedang kubangun tanpa cerita-cerita indah dan harapan. Sebuah cerita cinta yang harus kupendam sebegitu dalam.

Lalu disaat perasaan tentang segala rasa menjadi kulminasi kecintaanku padanya. Dalam tujuh tahun tanpanya. Tanpa pernah bertemu kembali dengannya dalam rasa cinta yang senantiasa membayangiku. Aku harus mencoba mengatakan hal yang tak pernah kukatakan pada perempuan manapun dalam hidupku. Akan mengatakan kepadanya disaat ia mulai merasa aku adalah orang yang telah sangat asing dalam hidupnya. Aku akan mengatakan kepada perempuan yang menghabiskan sebagian energi rasaku.

Bahkan rumah sakit, para pekerja kemanusiaan yang berbalut blazer putih di lorong-lorong pavilium tempat pasien-pasien terbaring. Senantiasa mengingatkanku akan sebuah nama; nama yang indah. Nama yang tak pernah kutemukan pada perempuan lain. Nama yang akan bergelut dalam aktifitas kemanusiaan. Nama yang akan menghabiskan sisa hidupnya bersama pasien-pasien dari kaum papa. Sebuah nama; Selly Enia Amelia. Nama perempuan yang senantiasa datang dan pergi yang tak mampu kuingkari lagi.

Namun, bukankah kebahagiaan adalah kita sendiri yang menciptakannya. Segenggam hati ini harus menjadi tangguh kembali. Tak perlu ada melankolis seperti halnya musik Mozart atau musik-musik Kitaro yang membuat hati terlelap dalam suasana hening dalam ingatan yang begitu panjang. Lalu kuniatkan harus menemuinya. Ya harus menemuinya.

Waktu kemudian membawaku untuk mengatakan sesuatu. Lalu dalam perjalanan jauh. Kusebrangi selat yang memisahkkan pulauku dengan pulau tempat kelahirannya. Membayangkan aku akan menemuinya. Ditemani anging-angin kecil di geledak kapal perry, pertemuan-pertemuan dimasa lalu dengannya datang dan pergi. Menghinggapi ingatanku. Seperti ia tersenyum dalam bayanganku. Wajahnya seperti menjelma dihadapanku. Sebatang rokok menemaniku. Rokok yang selalu diprotesnya. Asap-asapnya membentuk mozaik indah. Sembari kembali membayangkan wajahnya.

Sesekali pandanganku menatap nelayan-nelayan berperahu kecil diujung pandangan mata. Berkali-kali aku menghela nafas dalam-dalam. Mencoba bijak dengan segala kemungkinan. Semakin dekat kedermaga, dipinggiran kotanya, ingatan atasnya adalah seluruh melankolis rasa yang membuncah sedemikian rupa. Lalu aku mencoba menyusun kata-kata yang tidak pernah kukatakan pada perempuan manapun. Ketika kapal perry benar-benar telah merapat didermaga.

Kuhubungi kawan dekatku. Meminta dijemputnya. Sebab aku masih sangat asing dengan kota yang pernah kusinggahi sekali. Saat dalam perjalanan, aku meminta kawanku diantarkan ke tepi pantai berpasir putih. Pantai yang mengingatkanku pada pertemuan kali pertama dengannya. Pertemuan yang mengingatkan akan embrio rasa.

Diantara ombak yang menggulung karang sejauh mata memandang. Tepat ditempat manusia terasa sangat kecil dihadapan Sang Khalik. Lalu kukatakan diwaktu yang kurasa tepat. “Jika kamu tidak sedang dengan siapapun. Aku ingin menikahimu karena Allah…” suaraku lirih. Kawan dekatku menatap tak mengerti. Aku memang belum mengatakan kepadanya tentang tujuan terbesar dalam niatan tulusku, mencoba menikahinya karena Allah.

Tak kuasa menahan kerkahan rasa selama bertahun-tahun. Akhirnya kukatakan juga. Rasa yang terawat yang tumbuh begitu saja. Rasa yang hanya disiram oleh kenangan bersamanya, bersama potongan percakapan yang selalu kuingat, dimana segala ketulusan itu masih ada dalam kebersamaan waktu itu.

Namun, ketepatan yang kuyakini adalah semacam ketidaktepatan. Sama sekali tidak ada jawaban apapun. Ia membisu, diujung gagang selulernya ketika kukatakan bahwa aku sangat ingin menikah dengannya. Ketika kukatakan aku ingin bersilaturrahmi kerumahnya. Hanya ada riak-riak suara. Hening yang tersisa di seluler yang nomernya kuingat diluar kepala. Tak ada percakapan apapun. Ia mematikan ponselnya sesaat setelah kukatakan rasa yang selama ini terpendam.

Mencoba aku menerka hatinya. Beberapa saat kemudian kudengar suara laki-laki yang mengatakan, “Jangan mengganggunya. Saya akan menikahinya. kamu siapa? Sedang apa dikota ini!”. Katanya dari ujung seluler yang sama. Sebuah jawaban atas sebuah harapan yang pernah kusiram. Mungkin sebuah akhir. Mungkin sebuah awal. Lalu kubatalkan bersilaturahmi kerumahnya. Laki-laki yang bertanya kepadaku, tidak menghendaki aku menemuinya. Lalu kukenalkan diriku dan kukatakan pada laki-laki itu, “ Saya sangat mencintainya. Namun jika memang kamu adalah yang mengisi hari-harinya.dan berhak dicintainya, Saya berdo’a semoga allah memberikan kebahagiaan kepada kalian berdua. Salam untuk Enia.saya paham jika ia tidak ingin berbicara sepatah katapun. Semoga bahagia...” Dan perempuan yang kuajak bersama dalam ikatan rahmat-Nya mungkin hanya terdiam di ujung sana. Dengan segala perasaannya. aku sendiri tidak tahu bagaimana kedalaman hatinya Tanpa ada kata-kata apapun…

Lalu cincin yang tadinya akan kuberikan, yang kubeli beberapa saat sebelum aku menyebrangi selat, dan berharap menemuinya dan kuberikan padanya. Kini Aku pegang erat-erat. Aku pandangi cincin tersebut. Berkata lirih kepada Allah, “ berikanlah perempuan yang menyejukan hati dan yang engkau ridhoi ya muqolibal qulub, aku mencintainya, tapi Engkau maha mengetahui yang terbaik untuknya…”

Lalu aku tersenyum getir. Sembari melihat senja keperak-perakan di ujung laut dari pinggir pantai sembari memandangi selat antara pulau tempatnya dilahirkan dengan pulau di sebrang. Tempat kumenyempatkan diri membeli sepasang cincin putih. Untukku dan untuknya, tadinya. Tinggallah desir angin membalut kulit dan hati yang terlalu getir untuk meninggalkan sebuah asa yang pernah ada.

Sungguh aku mencoba membahagiakan hati dengan mengingat cinta-Nya lagi kepadaku. Kemana lagi aku harus berlari jika bukan mencoba menemui-Nya kembali. Memuji ciptaan-Nya yang ada didepan mata, yaitu sebuah samudra kebesarannya. Lalu kurebahkan tubuh dipasir putih. Persis ditempat ia mengatakan bahwa ia menyayangiku, tempo dulu.delapan tahun yang lalu.

Dalam rebah mataku menatap perahu-perahu yang memulai berlayar. terlihat kecil dibanding kapal yang membawaku. Seperti terasa kecil pula hati yang membawa harapan. Bukankah siapapun ingin menikahi perempuan yang dicintainya. Bukankah seorang perempuan ingin menikahi laki-laki yang dicintainya. Aku sangat mencintainya. Dan ia mungkin tidak mencintaiku lagi. Dan aku berusaha memahami itu.

Tepatnya, tidak ada lagi cintanya untukku. Tidak ada lagi cinta yang harus diperjuangkannya. Atau jangan-jangan aku hanya berilusi dalam fatamorgana yang seolah akan mendapatkan cintanya kembali.

Lalu disaat air mata tak terasa datang. Sesaat kuseka dengan tanganku. Tangan yang pernah ia pegang erat-erat sebagaimana airmatanya yang dahulu terjatuh. Jatuh keatas pasir lembut bercampur air laut. Ada linu yang menyengat dalam dada. Ada denah hati kosong yang tiba-tiba tercipta dalam hati. Kualihkan pandangan kepada para nelayan. Kutatap satu persatu. Kutatap orang-orang yang sepertinya sedang dalam kebahagiaan cinta-Nya untuk mengejar rizqi-Nya dilautan luas sana.

Mataku tiba-tiba kembali terfokus pada air mataku yang menetes bercampur air laut yang dibawa kembali oleh ombak kesamudra. Tatapanku kini pada bayangannya bersama air mata. Seperti pernah terjadi antara aku dengannya di sebuah waktu di masa lalu. Sebuah tatapan yang bermakna yang pernah kukenang.

Kini pasca delapan tahun cerita itu. Dalam pertemuan yang kuyakini akan tercipta kembali. Kemana lagi aku memuji jika bukan pada-Nya. Apakah ia melihatku, entahlah. Tapi aku membiarkan ia, sembari hati ini mendoakan atas kebahagiaan yang sedang ia perjuangkan.Biarlah aku dengan caraku mencintainya. Apalagi kudengar pula beberapa hari yang lalu, saat kusempatkan singgahi kotanya kembali disebrang pulau ini. Kawannya mengatakan ia telah menikah. Mungkin telah menikah.

Hanya yang tersisa adalah kakiku terasa lemas. Hatiku sedikit merapuh. Detak semakin kencang. Kukuatkan hati. Semoga ikhlas tetap terpatri dalam sanubari diri hingga aku mati. Bukankah aku pernah sangat menyayanginya dengan cinta yang hanya Dzat-Nyalah yang memahami hakikat hati ini. Terlepas apa yang ingin kutuliskan dalam kerajaan cintaku hari ini pasca kemarin sore aku sempat menatapnya. Hatiku hanya berbisik; selamat datang yang mulia; kerajaan cinta…

seni adalah seismograf hati yang terukir bersama kebesaran cinta-Nya. cerpen ini didedikasikan untuk seseorang yang kini terbaring dalam dunia-Nya

Sabtu, 06 September 2008

prosa 5;

sudahlah
aku hentikan sejenak puisiku
biar aku bisa menemuimu lagi
dalam caraku
di lain waktu

anggun suri utami; biar kuurai
dirimu dalam kalimat-kalimatku
peluk aku dalam sujudmu pada-Nya